Senin, 29 Oktober 2012

FIQIH ZAKAT

FIQIH ZAKAT


MUKADIMAH
Sebagai salah satu kewajiban, bahkan rukun dan pilar utama ajaran Islam, selama ini zakat belum mendapatkan perhatian yang semestinya dari umat Islam, baik dalam tataran pemahaman maupun pelaksanaannya. Hal ini berbeda dari perhatian mereka terhadap rukun-rukun Islam yang lain, seperti shalat, puasa dan haji, meskipun perhatian terhadap rukun-rukun tersebut juga belum ideal. Disamping itu, selama ini permasalahan zakat juga seringkali hanya diangkat pada bulan Ramadhan, dengan anggapan bahwa zakat itu hanya terkait dengan bulan Ramadhan. Padahal, permasalahan zakat sebetulnya bukan hanya permasalahan di bulan Ramadhan. Oleh karena itu, menjadi amat penting untuk memberikan perhatian yang lebih terhadap zakat – dengan menggalakkan sosialisasi dan kajian tentang zakat, serta optimalisasi peran lembaga-lembaga amil zakat – , dengan tidak membatasinya pada bulan Ramadhan saja.

URGENSI, FUNGSI, DAN MANFAAT ZAKAT
  1. Zakat merupakan rukun ketiga diantara rukun-rukun Islam yang, dalam Al-Qur’an maupun Hadits, hampir senantiasa digandengkan dengan shalat. Dan Islam tidak akan tegak kecuali dengan ditegakkan seluruh rukunnya, termasuk dalam hal ini zakat, sebagaimana sebuah bangunan tidak akan tegak kecuali jika tegak seluruh tiang penyangganya.
  2. Zakat merupakan bukti dan parameter keimanan serta keislaman seseorang. Maka, tidak berzakat bagi yang mampu menunjukkan adanya “cacat” dalam keimanan dan keislamannya.
  3. Zakat merupakan salah satu sumber kekuatan bangunan ekonomi umat, disamping merupakan salah satu faktor penting untuk mewujudkan tanggung jawab sosial dan keseimbangan dalam distribusi harta. (Lihat QS Al-Hasyr : 7)
  4. Jika ditunaikan dan dikelola dengan benar, zakat merupakan solusi terbaik untuk memberantas kemiskinan di kalangan umat Islam dan negeri-negeri muslim.
  5. Zakat merupakan wujud dan bukti rasa syukur seorang mukmin atas kelapangan rizki yang telah diberikan oleh Allah kepadanya.
  6. Zakat berfungsi untuk menyucikan jiwa muzakki dari sifat kikir, zhalim dan cinta dunia, sekaligus membersihkan jiwa para fakir miskin dari sifat benci dan dengki terhadap orang-orang kaya.
  7. Zakat berfungsi sebagai pembersih harta pemiliknya. Harta yang tidak dizakati adalah harta yang kotor karena masih tercampur dengan hak milik orang lain, karena bagian dua setengah persen yang harus dibayarkan itu misalnya, sudah menjadi hak milik sah para mustahiq (para fakir miskin dan lain-lain; lihat QS At-Taubah : 60).
  8. Zakat, sebagaimana juga infaq dan shadaqah, tidak akan mengurangi harta tetapi justru akan menambahnya, baik menambah nominalnya ataupun barakahnya.
  9. Dengan berzakat, seseorang akan terbebas dari ancaman siksaan pedih di Neraka, sebagaimana dinyatakan oleh Allah dalam QS Ali Imran : 180 dan QS At-Taubah : 34 – 35.
  10. Orang yang berzakat, sebagaimana juga yang berinfaq dan bershadaqah, akan dicintai oleh Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman. Dan hal ini akan mewujudkan eratnya jalinan ukhuwah dalam tubuh masyarakat muslim.
MACAM-MACAM ZAKAT
Dalam Islam, zakat terbagi menjadi dua macam sebagai berikut :
  1. Zakat fitrah, ialah zakat yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim atas nama dirinya dan yang dibawah tanggung jawabnya, pada penghujung bulan Ramadhan, sebelum shalat Idul Fitri, bila yang bersangkutan memiliki kelebihan harta untuk keperluan pada hari itu dan malam harinya. Adapun kadar yang dibayarkan adalah satu sha’ (kurang lebih 2,2 kilogram [atau yang biasa digenapkan menjadi 2,5 kilogram] dari bahan pokok setiap daerah). Menurut sebagian ulama’, zakat fitrah juga bisa ditunaikan dalam bentuk nilai mata uang seharga kadar zakat tersebut, khususnya jika hal itu lebih bermanfaat bagi fakir miskin yang menerimanya. Dan karena keterkaitannya yang lebih kuat dengan diri si pembayar zakat daripada keterkaitannya dengan harta, zakat ini juga dikenal dengan sebutan zakat diri  (zakatul abdaan).
  2. Zakat harta (zakatul amwaal / zakat maal), ialah zakat yang wajib ditunaikan atas kepemilikan harta dengan ketentuan-ketentuan khusus terkait dengan jenis harta, batas nominalnya (nishab), dan kadar zakatnya. Zakat ini disebut dengan zakat maal karena keterkaitannya yang lebih kuat dengan harta daripada keterkaitannya dengan diri pemiliknya. Oleh karena itu, syarat-syaratnya pun lebih banyak yang terkait dengan harta daripada dengan diri pemiliknya.
SYARAT-SYARAT MUZAKKI
  1. Islam
  2. Merdeka (bukan hamba sahaya)
SYARAT-SYARAT HARTA WAJIB ZAKAT
  1. Harta tersebut baik dan halal.
  2. Bersifat produktif, baik secara riil ataupun tidak riil. Dengan demikian, harta yang tidak berkembang dan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup pemiliknya tidaklah wajib dizakati, seperti rumah tinggal dengan segala perlengkapannya, kendaraan pribadi, perhiasan yang dipakai secara tidak berlebihan.
  3. Dalam kepemilikan penuh.
  4. Mencapai nishab (batas minimal harta yang dikenakan zakat).
  5. Mencapai haul (berlalu setahun) untuk beberapa jenis harta, seperti emas dan perak, harta perniagaan, dan hewan ternak.
  6. Surplus dari kebutuhan pokok minimal (primer).
  7. Terbebas dari hutang yang jatuh tempo.
CATATAN PENTING : Dua syarat terakhir berlaku jika mengikuti pendapat bahwa zakat diambil dari penghasilan bersih (netto), dan tidak berlaku jika yang diikuti adalah pendapat bahwa zakat diambil dari penghasilan kotor (bruto). Kalau kita kembali pada konsepnya, zakat itu diwajibkan atas orang-orang yang kaya, yakni yang telah sanggup memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya dan memiliki kelebihan harta yang telah mencapai nishab. Jika ada orang yang memiliki pendapatan yang telah mencapai nishab, akan tetapi biaya kebutuhan-kebutuhan pokoknya sama atau bahkan lebih besar dari itu, berarti ia bukan orang kaya dan justeru termasuk orang yang kekurangan, sehingga dengan demikian ia tidak wajib berzakat. Karena jika ia diwajibkan berzakat, berarti ia harus membayarnya dari hutang, sehingga hal itu dirasakan memberatkan, sebagaimana yang selama ini banyak terjadi. Dan patut dicatat, bahwa jika zakat diambil dari penghasilan kotor maka bisa jadi seseorang akan tercatat dalam daftar muzakki dan mustahiq sekaligus, sebagaimana yang selama ini juga banyak terjadi. Dan yang demikian ini tidak  dibenarkan, karena muzakki itu orang kaya yang tidak boleh menerima zakat sementara mustahiq itu orang miskin yang tidak wajib membayar zakat*. Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut, pendapat pertama (penentuan nishab berdasarkan pendapatannetto) terlihat lebih kuat. Dan pendapat inilah yang dipilih dan dikuatkan oleh Dr. Yusuf Qardhawi (dalam Fiqhuz Zakah Jilid I hal 151-161, 391-397, 484-486 dan lain-lain) dengan berbagai dalil dan argumentasi. Meskipun, dalam praktek di lapangan ada juga muzakki-muzakki yang secara pribadi tetap memilih pendapat kedua (penentuan nishab berdasarkan pendapatan bruto) karena tingginya semangat mereka untuk berzakat dan juga dengan alasan lebih praktis karena tidak harus susah-susah melakukan penghitungan yang rumit. Tapi ini adalah pilihan pribadi yang tidak  bisa dijadikan landasan penetapan fatwa umum.
GOLONGAN YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT
Orang-orang yang boleh dan berhak menerima zakat telah disebutkan oleh Allah secara rinci dalam QS At-Taubah : 60, yaitu sebagai berikut :
  1. Fakir, ialah orang yang tidak memiliki sumber penghasilan atau memilikinya akan tetapi penghasilannya tersebut kurang dari separuh kebutuhannya.
  2. Miskin, ialah orang yang memiliki penghasilan lebih dari separuh kebutuhannya, namun masih belum mencukupi.
  3. ‘Amil, ialah orang yang bertugas mengelola zakat.
  4. Muallaf, ialah orang yang baru saja masuk Islam, atau orang yang sedang diharapkan masuk Islam.
  5. Hamba sahaya.
  6. Orang yang mempunyai hutang.
  7. Fi sabilillah, ialah orang yang sedang berjihad untuk menegakkan agama Allah.
  8. Ibnu sabil, ialah orang yang sedang melakukan perjalanan dan bekal perjalanannya tidak cukup.
CATATAN: Terdapat perbedaan pendapat yang cukup luas dalam menafsirkan istilah “fi sabilillah” sebagai salah satu sasaran pengalokasian zakat. Jumhur ulama membatasi arti “fi sabilillah” pada jihad yang berupa perang fisik melawan orang-orang kafir, sehingga pada pos ini yang berhak menjadi sasaran pengalokasian zakat hanyalah para mujahidin yang sedang berperang saja, menurut pendapat sebagian ulama, atau termasuk juga untuk segala perlengkapan dan kebutuhan perang, menurut sebagian ulama yang lain. Sementara itu ada pendapat lain yang mengartikan kata “fi sabilillah” secara luas meliputi semua bentuk kebajikan, ketaatan dan  pendekatan diri kepada Allah tanpa kecuali. Sehingga menurut pendapat ini, harta zakat boleh dipergunakan untuk kepentingan apa saja yang maslahat, baik dan dalam konteks ketaatan serta kebajikan. Pendapat terakhir ini, menurut hemat kami, tidak cukup kuat, karena tidak sesuai dengan QS. At-Taubah: 60 itu sendiri, yang membatasi pengalokasian zakat pada delapan ashnaaf (sasaran) saja. Pendapat ini juga menjadikan penyebutan kedelapan ashnaaf dalam ayat tersebut seakan-akan tidak berarti, karena tujuh ashnaaf yang lain juga termasuk dalam cakupan “fi sabilillah” dengan makna yang sangat umum dan luas itu. Disamping dengan penafsiran tersebut, zakatpun jadi tidak memiliki perbedaan yang spesifik dan signifikan dari infaq dan shadaqah pada umumnya. Maka berdasarkan alasan-alasan tersebut dan yang lainnya, kami lebih cenderung memilih pendapat pertama, meskipun tidak sepenuhnya, yakni pendapat jumhur yang membatasi pada makna jihad, namun dengan sedikit memperluas cakupan mafhum(pengertian) jihad, sehingga tidak terbatas pada jihad qitali (perang) saja, sesuai dengan pendapat Dr. Yusuf Al-Qardhawi (dalam Fiqhuz Zakah jilid II hal 650-669).

GOLONGAN YANG TIDAK BERHAK MENERIMA ZAKAT
  1. Orang kaya, ialah orang yang penghasilannya mencapai nishab setelah dikurangi kebutuhan-kebutuhan pokoknya.
  2. Orang yang mampu dan berpeluang untuk bekerja
  3. 3.      Non muslim, baik harbi maupun dzimmi
  4. Isteri, bapak keatas, ibu keatas, dan anak kebawah
  5. 5.      Keluarga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

SISTEM KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN ZAKAT
Pada dasarnya, selama memenuhi syarat dan tepat sasaran, maka berzakat melalui lembaga maupun langsung disalurkan sendiri, kedua-duanya boleh dan sah. Namun begitu, sistem kelembagaan dalam pengelolaan zakat tetaplah lebih baik dan lebih utama karena beberapa alasan, antara lain :
  1. Pengelolaan zakat secara kolektif melalui lembaga merupakan alternatif yang lebih dekat dengan sistem ideal pengelolaan zakat dalam Islam. Karena dibawah naungan sistem pemerintahan Islam, zakat dikelola secara kelembagaan formal dari negara dan bersifat kolektif (bukan perorangan).
  2. Sistem kelembagaan lebih praktis dan memudahkan, sehingga semangat, komitmen, dan konsistensi dalam menunaikan kewajiban berzakat tetap terus terjaga.
  3. Lebih terjamin untuk tepat sasaran dalam pengalokasian dibandingkan dengan jika disalurkan sendiri.
  4. Sistem kelembagaan lebih mampu mengelola dan mengalokasikan zakat berdasarkan skala prioritas diantara sasaran-sasaran penyaluran zakat yang banyak jumlahnya dan bermacam-macam golongannya.
  5. Sistem kelembagaan menjadikan kewajiban berzakat sebagai syiar yang akan meningkatkan semangat bagi yang telah berzakat sekaligus memberikan keteladanan dan dorongan bagi yang belum sadar zakat diantara kaum muslimin.
  6. Sistem kelembagaan kolektif lebih efektif untuk menjadikan zakat sebagai basis ekonomi umat karena dana bisa terhimpun dalam jumlah besar dan dialokasikan secara proporsional, hal mana tidak terjadi jika zakat disalurkan secara perorangan.
Adapun kriteria-kriteria lembaga pengelola zakat yang baik antara lain :
  1. Amanah dan terpercaya, baik bagi pihak muzakki (pembayar zakat) maupun mustahiq (penerima zakat).
  2. Profesional dalam manajemen, operasional pengelolaan, maupun jajaran SDM-nya.
  3. Transparan dan memenuhi kriteria standar audit.
  4. Memiliki dewan syariah yang kompeten sebagai pengawal, pengawas, dan rujukan syar’i bagi lembaga dalam menunaikan amanat umat.
  5. Berpengalaman dalam bidang pengelolaan dana ZISWAF (Zakat, Infaq, Shadaqah, dan Waqaf) dari umat dan untuk umat.
  6. Terbukti dan teruji dalam memenuhi kriteria-kriteria diatas.
  7. Memiliki wilayah jangkauan operasional yang luas.
  8. Memenuhi unsur legal formal sebagai lembaga pengelola ZISWAF sehingga akan lebih leluasa dalam berkiprah ditengah-tengah masyarakat.

* Meskipun dalam kondisi yang lain, seseorang bisa saja menyandang predikat muzakki dan mustahiq sekaligus, misalnya amil yang kaya, ibnu sabil yang kaya di kampung halamannya, mujahid fi sabilillah yang kaya, dan dalam kasus zakat fitrah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar